Selasa, 11 November 2008

Meta Sekar Puji Astuti
Ketua Unit Kajian Kebudayaan Jepang Unhas

Titik balik sejarah reformasi pendidikan di Jepang dapat ditilik sejak
140 tahun lalu di era yang dikenal Restorasi Meiji (1868-1912).
Reformasi pendidikan merupakan salah satu agenda utama modernisasi
negara Jepang.

Sebagai awal modernisasi, Jepang membentuk beberapa misi khusus yang
dikirim ke luar negeri. Misi-misi ini mengunjungi beberapa negara di
Eropa, Amerika Serikat, dan juga Asia. Para pemimpin Jepang ini yang
kebanyakan dari golongan samurai, pergi mempelajari peradaban Barat
termasuk sistem pendidikannya.

Tak dimungkiri lagi reformasi pendidikan di Jepang merupakan salah satu
kunci keberhasilan negara ini baik di bidang ekonomi, teknologi, dan
industri. Negara jiran kita, Malaysia, di era PM Mahathir Muhammad
melalui kebijakan Look to East pada 1980-an secara terang-terangan
mengaku mengadaptasi model sistem pendidikan Jepang.

Topik dan isu pendidikan Jepang telah banyak mengundang perhatian
peneliti Barat dan Jepang sendiri. G Sougen Victor Hori dan Thomas
Rohlen (2006) menyatakan bahwa sistem pendidikan Jepang unik karena
proses sejarah akulturasi yang panjang. Proses ini menghasilkan semangat
spiritualisme kuno Jepang termasuk adaptasi budaya kuno (Buddha dan
Confucianism) dari Cina.

Kenyataannya, belum banyak ahli pendidikan di Indonesia memberi
perhatian khusus untuk meneliti reformasi pendidikan Jepang. Timbul
sebuah pertanyaan, apakah proses dan sejarah reformasi pendidikan Jepang
dapat menginspirasi reformasi pendidikan di Indonesia?

Perubahan radikal
Gerakan reformasi Indonesia telah dilakukan sejak 10 tahun yang lalu.
Tapi agenda reformasi, khususnya di bidang pendidikan, tampak masih
berjalan terseok-seok. Masih banyak agenda reformasi pendidikan yang
belum terselesaikan.

Belum ada gerakan radikal yang berkelanjutan dilakukan pemerintah
Indonesia. Reformasi pendidikan pada masa awal modern Jepang sudah
dilakukan secara radikal (Okano dan Tsuchiya, 2003). Awalnya, reformasi
pendidikan dilakukan untuk mengubah sistem sekolah tradisional
(terakoya) ke sistem modern.

Sekolah yang awalnya hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan (samurai)
diubah menjadi sistem pendidikan modern yang demokratis dan bagi semua
golongan. Sistem pendidikan sempat dipolitisasi untuk mendukung gerakan
nasionalisme dan militerisme negara pada masa perang.

Pascaperang (setelah 1945), melalui pengaruh pemikiran kolonial Amerika
Serikat, reformasi pendidikan fokus ke pengembangan individu untuk
industrialisasi negara. Tahun 1960-an kebijakan pelaksanaan ujian
nasional (UN) juga pernah menjadi isu besar di Jepang. Dimotori oleh
Serikat Guru Jepang (Nikkyouso) pemerintah dikritik habis dalam
pelaksanaan ujian ala Jepang ini.

Setelah terjadi konflik berkepanjangan antara pemerintah dan nikkyouso
serta gerakan masyarakat di tingkat akar rumput, tahun 1969 kebijakan UN
dihapus. Pada 1980-an reformasi pendidikan menjadi isu nasional ketika
PM Yasuhiro Nakasone menghapus kebijakan pengaruh kolonial Amerika yang
dianggap tidak sesuai lagi.

Melalui reformasi ini pendidikan lebih fokus untuk pembentukan identitas
diri masyarakat Jepang sesuai pribadi asli bangsa Jepang. Mulai 1990
reformasi pendidikan menghasilkan kebijakan yang mendukung pengembangan
lifelong learning. Pada 1886 Arinori Mori, menteri pendidikan pertama di
Jepang, memisahkan antara institusi untuk studi akademis (gakumon) dan
pendidikan (secara umum) atau kyouiku. Meski sistem ini dihapus pada
1945, pada praktiknya komponen gakumon dan kyouiku tetap ada di
kurikulum sekolah modern.

Menurut kajian para peneliti, pendidikan Jepang lebih menekankan moral
dan spiritual (Hori; Rohlen, 2006) dan soft-skill (termasuk kyouiku).
Pendidikan Barat dianggap cenderung lebih menitikberatkan pengembangan
kognitif.

Dari fakta yang ada hasil pencapaian tes internasional matematika dan
sains murid-murid di Jepang selalu menunjukkan angka tertinggi (Lynn,
1988; NCES, 2003). Richard Lynn, pakar psikologi dari University of
Ulster, Inggris, dalam bukunya yang berjudul Educational Achievement in
Japan: Lessons for the West menyarankan dunia Barat perlu belajar dari
sistem pendidikan Jepang. Para peneliti rata-rata juga menyatakan bahwa
spiritualisme (moral), pengembangan pribadi seutuhnya, sistem pendidikan
yang efisien dan disempurnakan (kaizen) merupakan beberapa kunci
keberhasilan pendidikan Jepang.

Pendidikan berpihak rakyat
Yukichi Fukuzawa, seorang pembaharu modernisasi Jepang (potret dirinya
terdapat di kertas nominal tertinggi, 10 ribu yen), dikenal juga sebagai
tokoh pendidikan dan penulis yang sangat produktif pada masanya. Dulu
sebelum memublikasikan artikel atau tulisannya ia berikan kepada
pembantunya. Bila pembantunya dianggap telah mengerti tulisannya maka
tulisan tersebut layak diterbitkan.

Prinsipnya, hasil karya tulisannya harus dapat dipahami oleh semua
kalangan. Melihat kebijakan-kebijakan Jepang di bidang pendidikan bisa
dikatakan reformasi pendidikan di Jepang dimaksudkan untuk kepentingan
seluruh rakyat bukan golongan tertentu. Bagaimana dengan Indonesia?

Setidaknya Indonesia dapat belajar dua hal dari proses reformasi
pendidikan Jepang. Pertama, reformasi pendidikan di Jepang dimulai
perubahan pola berpikir (mind-set) pemimpin Jepang. Mempelajari
model-model baru dan berani membuat langkah kebijakan radikal untuk
berubah. Kedua, kebijakan pemerintah Jepang dalam bidang pendidikan
dilakukan secara serius, berkelanjutan, dan terus disempurnakan.

Tidak ada gading yang tak retak. Sistem pendidikan Jepang pun juga
memiliki beberapa sisi negatif (Lynn, 1988; Okano dan Tsuchiya, 2003).
Namun, ada pepatah Jepang yang mengatakan mane wa manabu atau meniru
adalah belajar. Indonesia pun dapat belajar dengan meniru dari
pengalaman Jepang. Siapa takut? (republika)

Tidak ada komentar: